Zuhud : Ketenangan dan Benteng

Dalam agama Islam, pemahaman zuhud bukanlah hidup membenci dunia dan mengisolir diri dari keramaian dengan mengabaikan kewajiban menafkahi keluarga. Zuhud bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan membuang harta. Zuhud dalam pengertian yang benar adalah menekan hasrat dan menjauhkan diri dari kesenangan dunia untuk mencapai kesenangan akherat.  Zuhud terhadap dunia berarti lebih yakin dan percaya apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di tangan manusia.

Hadist rasul SAW:

مَنِ ازْ دَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ زُهْدًا     لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ اِلاَّ بُعْدًا

“Barangsiapa yang di anugerahi ilmu oleh Allah, akan tetapi tidak semakin bertambah  ke-zuhud-annya, maka sejatinya orang yang seperti ini bukan bertambah melainkan semakin jauh dari jalan Tuhannya”.

Sikap zuhud dapat memberikan ketenangan kepada seseorang. Ia adalah benteng dari sikap sombong, kikir, serakah dan bermewah-mewahan. Kehancuran seseorang dan bahkan sebuah bangsa dicirikan dengan keempat sikap di atas.

Zuhud membebaskan dirinya secara penuh dari segala hal yang menghalangi kebebasannya.

Selengkapnya

Zuhud Umar Bin Khattab

Beberapa kali Abdurrahman bin Auf menyaksikan Umar shalat sunah di rumahnya. Yang menarik perhatiannya, bukanlah tata cara shalatnya, melainkan sajadah yang biasa digunakan Umar. Seorang kepala kegara dengan wilayah kekuasaan yang membentang luas sampai Mesir, berhasil mengalahkan dua imperium besar, Romawi Timur dan Persia, justru shalat di atas sajadah yang usang. Timbul rasa bersalah dalam hati Abdurrahman. Ia ingin membelikan sajadah baru yang mahal dan indah untuk sang Amirul Mukminin.

Tetapi, Abdurrahman ragu, apakah Umar mau menerimanya. Dia tahu persis watak Umar yang tidak mau diberi hadiah apa pun walau hanya selembar sajadah.

Abdurrahman akhirnya memberikan sebuah sajadah melalui istri Umar, Ummu Abdillah. Melihat sajadah baru, Umar memanggil istrinya dan menanyakan siapa yang memberi sajadah ini. “Abdurrahman bin Auf,” jawab istrinya. “Kembalikan sajadah ini kepada Abdurrahman. Saya sudah cukup puas dengan sajadah yang saya miliki.” Begitulah watak Umar bin Khattab. Tidak hanya adil dan bijaksana, beliau dikenal dengan sifat zuhudnya, hidup sederhana. Tidak hanya untuk ukuran seorang kepala negara, bahkan bagi orang biasa sekalipun.

Selengkapnya

Menghadirkan Hati Dalam Shalat

Ibnu Qayyim rahimahullah  menguraikan wasiat Nabi Yahya bin Zakariya alaihimassalam  yang berbunyi :

وآمركم بالصلاة، فإذا صليتم، فلا تلتفتوا فإن الله ينصب وجهه لوجه عبده في صلاته ما لم يلتفت , رواه البخاري

“Dan aku memerintahkan kamu untuk shalat, jika kamu shalat maka janganlah kamu berpaling (menoleh) karena sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kewajah hamba tersebut dalam shalat selama dia tidak berpaling”. HR. Bukhari.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang iltifat (berpaling)nya seorang laki-laki dalam shalat, maka beliau bersabda : “ ( iltifat ) merupakan pencurian yang dilakukan oleh syetan dalam shalat seseorang. ( HR. Bukhari ).

Perumpamaan orang yang berpaling (iltifat) dalam shalatnya dengan pandangan ataupun hati sama seperti orang yang dipanggil oleh penguasa, kemudian dia berdiri di hadapan penguasa tersebut dan berbicara dengannya, ketika sedang berbicara orang tersebut menoleh (berpaling) ke kiri dan ke kanan, hatinya tidak sedang bersama penguasa tersebut sehingga dia tidak paham apa yang dibicarakan. Kira-kira tindakan apa yang akan dilakukan oleh penguasa tersebut menghadapi laki-laki ini?. Paling tidak penguasa tadi akan pergi meniggalkannya dalam keadaan marah, dan harga diri laki-laki tadi menjadi hilang di hadapan penguasa tersebut.

Selengkapnya

Pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra

Salah satu kisah favorit saya adalah Pernikahan Ali dengan Fatimah Az Zahra. Saya hampir selalu berair mata  ketika membacanya..

Pernikahan antara dua manusia suci ini berlangsung pada tahun kedua Hijriyah.6 Semua syarat pernikahan putri Nabi saw telah terpenuhi. Banyak orang yang berniat mengambil Fatimah as sebagai istrinya dan menjadikannya sebagai bagian dari keutamaan mereka. Dengan berbagai cara, mereka ungkapkan keinginan mereka kepada Nabi saw. Abu Bakar dan Umar mengedepankan persahabatan mereka dengan Nabi saw dan menyebutkan keutamaan mereka untuk mengambil hati beliau. Namun, Nabi saw menolak lamaran mereka.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa setelah lamaran mereka ditolak Nabi saw, mereka datang menemui Ali  dan mendorong beliau untuk melamar Fatimah. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang mendorong Ali untuk melamar putri Nabi saw adalah Sa’ad bin Muadz.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw sendiri yang menanyakan kepada Ali tentang niatnya untuk menikah dengan Fatimahdan menjelaskan tugas yang diembannya dari Jibril untuk menikahkannya dengan putrinya. Namun, dalam riwayat lain, demikian disebutkan:
Ali pergi sendiri menghadap Nabi saw untuk melamar Fatimah. Ia sangat malu untuk mengutarakan niatnya hingga Nabi saw dengan raut muka gembira bertanya kepadanya, “Untuk apa kau datang? Sepertinya kau datang untuk melamar Fatimah?”
“Benar wahai Rasulullah!”
“Sebelum kau, banyak orang telah datang kepadaku dengan niat sama. Tapi setiap kali aku berunding dengan Fatimah, ia tidak menjawab lamaran mereka. Aku pun ridha dengan apa yang diridhai olehnya. Tunggulah sebentar supaya aku memberitahu Fatimah tentang niatmu.”

Nabi saw datang menemui putrinya dan berkata kepadanya, “Anakku, Ali anak pamanku datang melamarmu. Dia bukan orang asing bagimu dan kau sudah tahu keutamaannya. Ia ingin menjadikanmu sebagai istrinya. Apa pendapatmu?”
“Wahai Rasulullah, engkau lebih berhak untuk memberi pendapat.”
“Anakku, sesunguhnya Allah telah mengizinkanmu menikah dengannya.”
Sambil tersenyum gembira, Fatimah berkata, “Aku ridha dengan apa yang diridahi oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Fatimah as berkata, “Aku rela Allah sebagai Tuhanku dan ayahku sebagai Nabiku dan putra pamanku sebagai suamiku.”)

Selanjutnya